“Cogito Ergo Sum”, itu sih Descartes
“Cogito ergo sum”.
Ungkapan ini diutarakan oleh Rene Descartes, seorang filsuf dari Perancis.
Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini
membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan
seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa
berpikir sendiri.
Kalau Descates
merasa eksistensinya ada ketika berpikir, ada juga orang yang merasa
eksistensinya ada kalau, misalnya, memiliki kekuasaan walau kecil. Hal ini
pernah terjadi di sebuah perusahaan. Ada
seorang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penanggungjawab sebuah ruang
publik. Dalam ruang publik tersebut, terdapat beberapa buku perpustakaan dan
juga perangkat audio visual. Ruang tersebut disediakan oleh manajemen agar
seluruh karyawan dapat mengakses fasilitas untuk meningkatkan kualitas
pengetahuan dan keterampilan mereka. Satu orang yang menjadi penanggungjawab
ruang tersebut tentunya memegang kunci pintu.
Beberapa orang
karyawan merasakan, dulu, waktu penanggungjawab baru itu belum ada, mereka
bebas masuk ke ruangan tersebut untuk mengupdate pengetahuannya. Mereka bisa
memasuki ruangan yang penanggungjawab lamanya selalu standbye di tempat. Bahkan
ketika hari libur, para karyawan tetap bisa masuk ke ruangan tersebut dengan
meminjam kunci ruang. Manajemen tak pernah keberatan dengan karyawan yang
memanfaatkan hari liburnya untuk berkunjung bahkan berlama-lama di ruang
publik. Karena manajemen yakin, kehadiran karyawan dalam ruangan tersebut
justru akan memberikan dampak positif bagi pengembangan SDM perusahaannya.
Kini karyawan yang
biasa mengisi hari liburnya dengan berlama-lama menikmati fasilitas upgrade
diri itu merasa resah. Mereka sudah tidak lagi dapat berlama-lama memakai fasilitas
di ruangan tersebut karena penunggunya barunya memberikan batas waktu pemakaian
agar dia bisa melakukan aktifitas lain di luar tanggung jawabnya. Bahkan, untuk
mengisi hari libur dengan “ngendon” di ruang tersebut merupakan impian belaka.
Sang pemegang kunci sangat keberatan kalau harus meminjamkan kunci ruang publik
tersebut kepada karyawan, kecuali kepada beberapa karyawati yang ramah
terhadapnya.
Suatu hari, salah
seorang karyawan, sebut saja namanya pak dudung, menemui pemegang kunci ruang
publik itu. Namun pak Diding, pemegang kunci itu tidak memberikan kunci yang
dimaksud dengan alasan hilang. Hari yang lain, pak Dadang, temannya pak Dudung,
meminjam kunci pula kepada pak Diding. Tapi kali ini alasan pak Diding,
kuncinya tertinggal di rumah jadi tak bisa meminjamkan barang yang dimaksud pak
Dadang.
Di kantin, pak
Dadang berdiskusi dengan pak Dudung tentang misteri kematian Azahari, teroris
asal Malaysia yang sering
beroperasi di Indonesia.
Mereka saling berdebat antara yakin atau tidak kalau yang mati itu adalah
Azahari. Saat mereka sedang berdebat, lewatlah Layu Azhari, salah seorang
karyawati tercantik di perusahaan itu. Perempuan itu menengahi Double “D” agar
mencari informasi valid di ruang publik saja. Langsung saja pak Dudung, salah seorang
dari double “D” itu menceritakan kegagalan demi kegagalannya dalam meminjam
kunci. Sebab kesibukan kerjanya tak memungkinkan untuk bisa ke ruang publik
pada jam-jam normal seperti beberapa karyawan lainnya. Begitu juga pak Dadang.
Ia menyatakan kalaupun ada di ruang publik, ia merasa tidak nyaman karena pak
Diding sering memintanya cepat-cepat keluar karena ia mau mengunci pintu ini
untuk segera pulang. Layu Azhari menyatakan kalau ia dan beberapa temannya
selama ini tak pernah sesulit itu untuk meminjam kunci, bahkan pada malam hari.
Ia merasa karena ia cantik, jadi pak Diding selalu bersedia memberikan kunci
atau bahkan menemaninya mengakses fasilitas di ruang publik.
Layu Azhari adalah
salah satu karyawati yang selalu yakin kalau dirinya cantik. Ia tak malu-malu
menyatakan kecantikannya di depan publik. Terutama di ruang publik. Ia
berprinsip “Aku cantik maka aku ada”. Lantas pak Dudung mulai menyatakan
prasangkanya tentang pak Diding di kantin itu. Menurut pak Dudung, pak Diding
itu adalah tipe orang yang memiliki karakter “Aku pegang kunci, maka aku ada!”.
Itu dia buktikan dengan membeberkan sikap pak Diding yang seolah-olah merasa
jadi orang penting saat dicari-cari oleh orang yang mau meminjam kunci ruang
publik. Pak Dudung masih belum puas. Ia bahkan menambahkan episode ceritanya
tentang pak Diding. Kali ini berkisah tentang ketidakadilan sikapnya terhadap
karyawan dan karyawati dalam hal meminjamkan kunci.
Episode itu
berlanjut dengan penilaian-penilaian negatif pak Dudung terhadap pak Diding yang
dikemas dalam sebuah cerita yang memikat. Pak Dadang, yang duduk di sebelah pak
Dudung, ikut menambah-nambahkan cerita temannya tentang orang yang sama-sama
tak disukainya. Ternyata pak Dudung ini adalah tipe orang yang memiliki
prinsip, “Aku ngegosip maka aku ada”, sedangkan pak Dadang bertipe, “Aku
terprovokasi, maka aku ada”. Sementara itu ada juga beberapa karyawan yang
senang menguping obrolan the Double “D” plus Layu Azhari. Mereka itu mungkin
merasa “Aku nguping, maka aku ada”. Tapi ada juga yang masa bodo dengan apa
yang terjadi di kantin hari itu. Ia berprinsip, “Aku cuek, maka aku ada”.
Bagaimana dengan pak Diding, orang yang jadi bahan gosip?
Ternyata pak
Diding sebenarnya ada di ruang itu juga. Beberapa detik sebelum Double “D” itu
datang, pak Diding sedang sibuk mencari kunci ruang publik yang terjatuh. Pak
Diding sebenarnya ada di kolong meja, tempat Double “D” plus Layu Azhari
diskusi. Ternyata pak Dudung salah menilai pak Diding. Pak Diding sebenarnya
orang bertipe, “Aku ngumpet, maka aku ada”
0 komentar:
Posting Komentar