Pengaruh Takdir Atas Manusia
Perasaan Menakutkan
Tidak ada sesuatu yang lebih mengganggu dan
menyakitkan jiwa seseorang daripada perasaan bahwa ia hidup di bawah
bayang-bayang sebuah kekuasaan absolut yang amat kuat dan mencengkram segala sesuatu
dalam kehidupannya, serta mengarahkannya ke mana saja sesuai dengan
kehendaknya. Karena, seperti dikatakan orang, kemerdekaan adalah nikmat yang
paling mahal harganya, sedangkan perasaan terjajah adalah rasa sakit yang
paling memedihkan. Dengan begitu manusia merasa dirinya terinjak-terinjak dan
kehendaknya tercabik-cabik oleh kekuatan absolut yang menjajahnya itu. Tak
ubahnya seperti seekor domba yang ditarik oleh sang penggembala yang menguasai
tidur, makan, hidup dan matinya. Hal ini akan menimbulkan perasaan bagai bara
api yang menyala-nyala dalam lubuk hatinya serta rasa sakit yang tak terhingga,
menyerupai penderitaan seseorang yang menyerah pasrah dalam cengkraman seekor
singa yang garang dan buas, setelah menyadari bahwa tidak ada lagi jalan keselamatan
baginya dari cengkeraman kuat yang sepenuhnya mengendalikan dirinya itu.
Sampai sejauh ini kita hanya membayangkan
kekuatan yang berkuasa seperti ini dalam diri seorang manusia hebat atau
binatang buas saja. Akan tetapi apabila kita membayangkannya sebagai suatu
kekuatan gaib yang mahadahsyat yang berkuasa atas diri manusia dan menguasai
dirinya dari balik alam gaib yang gelap gulita, maka sudah pasti keadaannya
akan menjadi lebih parah lagi. Ketika itu segala impian untuk dapat selamat
pasti akan pupus.
Demikianlah awal mula lahirnya pertanyaan
yang membingungkan ini di benak setiap manusia, termasuk yang memiliki daya
pencerapan yang paling minimum sekalipun. Benarkah segala peristiwa alam ini
berjalan sesuai dengan perencanaan yang ketat, yang telah digariskan jauh
sebelum terjadinya, tanpa adanya kemungkinan kegagalan atau pengecualian?
Maujudkah kekuatan mutlak tersembunyi yang disebut qadha dan qadar
(takdir), yang menguasai sepenuhnya segala peristiwa yang terjadi, termasuk
manusia dan khasiat-khasiat (karakteristik-karakteristiknya) serta
perbuatan-perbuatannya? Ataukah hanya berlawanan sama sekali dengan itu, yakni
tidak ada sesuatu yang dapat diartikan sebagai pengaruh-menentukan masa lalu
atas masa sekarang dan masa depan; sehingga manusia, sebenarnya, memiliki
kebebasannya yang sempurna dalam membentuk segala gerak-lakunya dan menentukan
nasibnya? Ataukah ada kemungkinan ketiga di antara kedua kemungkinan tadi, yang
menggabungkan kepercayaan kepada takdir, sebagai kekuatan mutlak yang berkuasa
atas segenap wujud alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan wujud
alam semesta tanpa kecuali, dengan kepercayaan akan kebebasan manusia dalam
segala tindakannya? Dan jika demikian itu keadaannya, bagaimanakah dapat
dijelaskan?
Masalah qadha dan qadar
(takdir) atau penentuan nasib, termasuk di antara masalah-masalah filosofis
yang amat pelik dan rumit yang sejak abad pertama hijriah telah menjadi bahan
pembahasan di kalangan para pemikir Muslim disebabkan alasan-alasan yang kami
sebutkan kemudian. Berbagai aliran pemikiran (akidah) yang dikemukakan di
bidang ini besar sekali peranannya dalam tercetusnya pertikaian serta timbulnya
kelompok-kelompok di seluruh dunia Islam, yang selanjutnya menimbulkan dampak
yang amat menakjubkan di sepanjang jangka waktu empat belas abad lamanya.
Segi Praktis Persoalan Ini Secara Umum
Kendati masalah ini berhubungan dengan alam
metafisis dan filsafat ketuhanan, namun ia termasuk di antara masalah-masalah
sosial praktis yang terpenting disebabkan dua hal:
1.
Reaksi
intuitif yang berkaitan dengan bentuk pemikiran individual dari setiap pembahas
problem ini terhadap kehidupan praktisnya, serta cara penanganannya terhadap
segala peristiwa yang terjadi. Wajarlah jika terdapat perbedaan dalam mental
dan perilaku antara seseorang yang percaya bahwa dirinya adalah wujud yang
terbelenggu, dengan orang lain yang meyakini bahwa dia sendirilah yang berkuasa
sepenuhnya atas masa depan serta nasibnya.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa
problem ini menimbulkan implikasi-implikasi praktis dan sosial yang tidak
terdapat dalam masalah-masalah filosofis lainnya seperti misalnya tentang
"baru atau azalinya kemunculan alam ini" dan "terbatas atau
tidak terbatasnya penjuru-penjuru alam ini", "sistem kausalitas dan
kemustahilan timbulnya yang banyak dari yang tunggal", "malah Zat dan
Sifat pada diri Sebab Pertama dan Utama Subhanahu wa Ta'ala", dan berbagai
masalah lainnya yang tidak mempunyai pengaruh praktis atas perilaku individual
ataupun sosial mereka.
2.
Pengaruh penting
yang ditimbulkan oleh kesalahan ini atas pemikiran. Yakni, kendatipun ia
termasuk di antara masalah-masalah yang rumit dan membutuhkan pemecahan yang
amat teliti, namun ia dapat dikelompokkan ke dalam masalah-masalah umum yang
mau tak mau hinggap dengan sendirinya ke dalam pemikiran siapa saja, yang
memiliki kapasitas yang minim sekalipun dalam hal pemikiran masalah-masalah
yang integral. Sebab, setiap orang sangat ingin memiliki perasaan bahwa ia
mampu menentukan masa depannya sendiri.
Apakah terikat erat kepada takdir yang
pasti (deterministis) dan tak mungkin lagi dielakkan dalam perjalanan hidupnya,
sehingga tak ada lagi pilihan lain baginya, bagaikan daun kering dalam hembusan
badai? Ataukah keadaannya tidak seperti itu, yakni bahwa ia mampu menentukan
perjalanan hidupnya?
Dengan adanya dua aspek tersebut di atas,
dapatlah masalah ini digolongkan ke dalam persoalan-persoalan praktis dan
sosial.
Akan tetapi, para ahli yang pada masa-masa
lalu telah membahas masalah ini, tidak cukup memperhatikan aspek ini. Mereka
lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada aspek filosofis dan teologinya
semata-mata. Sebaliknya, para pembahas masa kini telah menyimpang dari cara
lama itu, dan mereka kini mencurahkan perhatian yang sebesar-besarnya kepada
aspek praktis dan sosialnya saja.
Bahkan kini kita dapat melihat sebagian
para pengecam Islam menganggap masalah qadha dan qadar serta
pandangan Islam tentangnya sebagai faktor-faktor terbesar penyebab kemunduran
kaum Muslimin.
Berdasarkan itu, mungkin akan timbul
beberapa pertanyaan :
Jika kepercayaan kepada qadha dan qadar
merupakan penyebab kemalasan dan kemunduran individu ataupun masyarakat,
mengapa tidak demikian pula kondisi kaum Muslimin dari generasi-generasi
pertama? Apakah persoalan ini tidak terdapat dalam ajaran-ajaran asasi dan inti
akidah Islam, seperti yang dituduhkan oleh beberapa ahli Barat? Ataukah bentuk
kredo mereka tentang takdir adalah sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan
dengan kebebasan serta tanggung jawab manusia sehubungan dengan perbuatannya?
Dengan kata lain, sementara mereka percaya dan yakin tentang takdir dan
ketentuan-ketentuan umumnya, apakah di waktu yang sama, mereka juga percaya dan
yakin bahwa nasib dapat diubah atau diganti, dan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk itu? Dan sekiranya mereka memiliki pemikiran seperti ini,
bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Terlepas dari bentuk ijtihad yang
digunakan orang dalam memahami problem ini, di masa lalu, wajiblah atas kita,
pertama-tama, berpaling ke arah logika Al-Quran al-Karim mengenai masalah ini,
kemudian menelaah segala yang sampai kepada kita dari Rasul teragung saw. Dan
para Imam, dan setelah itu berusaha meneliti berbagai jenis pendapat yang
bertumpu atas logika yang sepatutnya kita pilih.
Ayat-ayat Al-Quran
Beberapa ayat Al-Quran al-Karim
menandasakan adanya qadha dan qadar serta pengaruh mutlaknya, dan
bahwa setiap peristiwa alami pasti telah didahului oleh Kehendak Ilahi dan
bahwa hal itu telah tersurat sebelumnya dalam suatu "kitab yang
nyata". Misalnya:
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam suatu
kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. (QS 57 : 22)
Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua
yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya pula dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi,
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab
yang nyata. (QS 6 : 59)
Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita
barang sesuatu hak (campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah:
"Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." Mereka
menyembunyikan apa yang tidak mereka terangkan kepadamu, mereka berkata:
"Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu hak campur tangan dalam urusan
ini, niscaya kita tidak akan dibunuh atau dikalahkan di sini." Katakanlah:
"Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan
akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh." (QS 3 :
154)
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada
sisi Kamilah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
tertentu.(QS 15 : 21)
Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentnan (qadar) bagi tiap-tiap sesuatu. (QS 65 : 3)
Sesungguhnya kami menciptakan segala
sestiatu menurut qadar (ukuran). (QS 54 : 49)
Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia
kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.(QS 14 :4)
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau cabut kerajaan orangyang Engkau kehendaki; Engkau muliakan orangyang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala
sesuatu." (QS 3 : 26)
Sedangkan contoh ayat-ayat yang menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya, mampu mempengaruhi masa
depan dan nasibnya dan dapat pula mengubahnya adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(QS 13 : 11)
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan
sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram; rizkinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat
Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS 16:112)
Allah tidak sekali-kali hendak menganiaya
mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS 29 : 40)
Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya
hamba-hamba-Nya. (QS 41 : 46)
Sesungguhnya Kami telah
menunjukinyajalanyanglurw, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS 76 :
3)
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. (QS 18 : 29)
Telah tampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS 30 : 41)
Barangsiapa
menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya; dan
barangsiapa mengehendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian
dari keuntungan dunia. (QS 42 : 20)
Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang Kami kehendaki, bagi orang yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan
baginya neraka jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin maka mereka itu adalah orang-orang yang
usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini
maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu; dan kemurahan
Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS 17: 18-20)
Masih ada lagi ayat-ayat lain
yang dapat digabungkan dengan kumpulan ayat-ayat pertama ataupun kedua.
Ada kalanya kedua kumpulan ini
dalam pandangan kebanyakan ahli tafsir dan teologi Islam dianggap saling
bertentangan, dan karena itu tak ada jalan lain kecuali menakwilkan
(menyimpangkan arti) yang satu, sehingga kesimpilannya bersesuaian dengan yang
kedua, dan dengan demikian dapat diterima hasilnya.
Sejak pertengahan abad pertama
hijriah, saat munculnya kedua pemikiran mengenai persoalan ini, sekelompok
orang mendukung aliran "kebebasan manusia" serta ikhtiarnya
(kebebasan memilihnya) lalu menakwilkan kumpulan ayat-ayat pertama. Mereka ini
dikenal sebagai kaum Qadariyah. Sementara kelompok lainnya mendukung
aliran takdir gaib yang amat ketat menguasai segala perbuatan manusia, lalu
menakwilkan kumpulan ayat-ayat kedua. Mereka ini dikenal sebagai kaum Jabariyah.
Kedua kelompok ini kemudian
lebur dalam dua firqah (kelompok) besar aliran teologi, yakni kaum Asy'ariyah
dan Mu'tazilah. Masing-masing kelompok mengikuti beberapa dari
pikiran-pikiran salah satu dari kedua aliran tersebut di atas; yakni kelompok
Asy'ariyah mendukung aliran Jabariyah, sementara kelompok Mu'tazilah
mendukung aliran Qadariyah.
Istilah Qadariyah
Perlu diperhatikan bahwa di
sini kami menggunakan istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung
aliran "kebebasan kehendak manusia" demi mengikuti istilah yang
dikenal di kalangan para ahli teologi Islam, seperti yang pada galibnya
dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini
kadang-kadangjuga digunakan oleh sebagian ahli ilmul-kalam dan pada
sebagian riwayat, guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak
mengakui kebebasan kehendak manusia.
Dalam kenyataannya, mereka
semua, baik yang nnendukung teori Jabariyah (determinisme takdir) yang
menyatakan adanya kekuasaan takdir umum (menyeluruh), ataupun orang-orang yang
mendukung teori kebebasan manusia dan penafian peran takdir dalam
perbuatan-perbuatan manusia; menghindarkan diri dari sebutan Qadariyah
ini, seraya menjuluki kelompok lainnya dengan nama tersebut. Rahasia sikap ini
ialah adanya riwayat hadis Rasul yang mulia saw. yang menyebutkan : "Kaum
Qadariyah adalah Majusinya umat ini." Karena itu, kaum Jabariyah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "kaum Qadariyah" ialah
orang-orang yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi, sementara lawan-lawan
mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang-orang yang mengembalikan
segala sesuatu, harta perbuatan manusia, kepada qadha dan qadar.
Mungkin penyebab lebih
dikenalnya sebutan Qadariyah untuk para pengingkar takdir adalah :
1.
Tersebar luasnya mazhab Asy'ariyah, sehingga menjadikan kaum Mu'tazilah
sebagai minoritas di hadapan kaum Asy'ariyah yang mayoritas.
2.
Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama
Majusi. Sebab, yang diketahui bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi hanya
pada apa yang mereka namakan "kebaikan" saja, sedangkan
"kejahatan" berada di luar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah
wujud setan pertama yang mereka namakan Ahriman.
Kontradiksi yang
Dituduhkan
Telah kami katakan sebelum ini
bahwa kebanyakan para ahli tafsir dan ilmul-kalam (teologi Islam)
berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran dalam masalah ini saling bertentangan.
Oleh sebab itu, mereka berlindung di balik penakwilan sebagiannya agar
bersesuaian dengan sebagiannya yang lain.
Berkenaan dengan itu,
kami ingin mengingatkan bahwa pertentangan dalam sesuatu dapat dibagi menjadi
dua jenis: Pertama; adanya ucapan yang menafikan ucapan lainnya dengan
cara yang jelas, gamblang dan sepenuhnya tepat. Misalnya dalam ucapan : "Rasulullah saw. wafat pada bulan
Safar", dan "Rasulullah saw. tidak wafat pada bulan Safar."
Dalam contoh ini jelas bahwa ungkapan yang kedua menafikan yang pertama dengan
sejelas-jelasnya. Kedua, kalimat kedua tidak menafikan yang pertama
secara jelas dan gamblang, akan tetapi pembenaran kalimat yang kedua berarti
batalnya yang pertama, seperti dalam contoh berikut : "Rasulullah saw.
wafat pada bulan Safar" dan "Rasulullah saw. wafat pada bulan Rabiul
Awal".
Pertanyaannya kini, apakah kontradiksi yang
dituduhkan di antara kedua kumpulan ayat mengenai persoalan takdir ini
tergolong jenis pertama ataukah kedua? Tak syak lagi, kontradiksi yang
dituduhkan itu tidak termasuk jenis pertama (kontradiksi yang jelas dan
gamblang), sebab kita tidak mengatakan, sebagai contoh : "Tak ada sesuatu
yang ditakdirkan," dan "Segala sesuatu telah ditakdirkan." Atau:
"Segala sesuatu telah didahului oleh ilmu (pengetahuan) Allah," dan
"Tak ada sesuatu yang telah didahului oleh ilmu Allah," Atau:
"Manusia bebas memilih dalam tindakannya," dan "Manusia tidak
bebas memilih dalam tindakannya." Atau: "Segala sesuatu terikat oleh
kehendak Ilahi," dan "Segala sesuatu tidak terikat oleh kehendak
Ilahi."
Akan tetapi para ahli ilmul-kalam
mengira bahwa konsekuensi ungkapan "segala sesuatu telah ditakdirkan oleh
takdir Ilahi" ialah bahwa manusia bersifat majbur (terpaksa) dalam
segala perilakunya. Dengan demikian, mustahil kita dapat menggabungkan
"kebebasan kehendak" dengan "takdir yang telah mendahului".
Takdir harus terlaksana tanpa adanya ikhtiar (kebebasan memilih). Jika tidak
demikian, maka Ilmu (pengetahuan) Allah berbalik menjadi ketidaktahuan. Demikian
pula kebalikannya. Adanya kemampuan manusia untuk memberikan pengaruh dalam
kebahagiaan atau kesengsaraan dirinya berarti keharusan tidak adanya takdir
yang mendahului.
Dengan cara seperti ini, terbentuklah
berbagai macam penakwilan dalam buku-buku para ahli ilmul-kalam dan
tafsir.[1]
Berdasarkan hal tersebut, sekiranya ada
teori ketiga yang menghilangkan kontradiksi yang dituduhkan di antara pengetahuan
Allah yang mendahului serta kehendak-Nya yang absolut dan kebebasan serta
ikhtiar manusia, maka kita tidak lagi memerlukan takwil dan tafsir apapun.
Nah, seperti yang akan kami uraikan setelah
ini, kenyataan mendukung adanya teori ketiga ini dan menyingkapkan bahwa
"kontradiksi" tersebut hanya merupakan akibat pernahaman yang keliru
semata-mata. Kita dapat mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada kontradiksi
dalam Al-Quran, yang memaksa kita mengartikan beberapa ayatnya berlawanan dengan
arti lahirnya ataupun menakwilkannya. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa tidak
satu pun ayat Al-Quran yang perlu ditakwilkan, hatta ayat-ayat yang tampaknya
paling kontradiktif sekalipun. Persoalan ini membutuhkan uraian agak
terperinci, yang tidak pada tempatnya diberikan di sini, yang membuktikan bahwa
hal itu justru merupakan segi paling menarik dan paling mengagumkan dalam
susunan Al-Quran al-Karim.
Dampak-dampak Negatif Aliran Jabariyah
Tak syak lagi bahwa aliran Jabariyah dalam
bentuk yang dinyatakan oleh kaum Asy'ariyah, yakni bahwa manusia tidak sedikit
pun memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), menimbulkan berbagai dampak negatif,
sebab hal itu melumpuhkan jiwa manusia serta kehendaknya daripada setiap
kegiatan yang bisa memberikan pengaruh. Inilah konsep yang memberi kekuatan kepada kaum zalim,
dan pada saat yang sama, mengikat erat-erat tangan kaum tertindas.
Dengan dalih pernahaman
seperti itu, manusia zalim yang telah berhasil menguasai jabatan atau
kekuasaan, dengan cara-cara yang tidak sah, dengan bangganya berbicara tentang
"bakat menakjubkan" yang telah dikhususkan oleh Allah baginya dan
"nikmat" yang dilimpahkan-Nya atas dirinya, setelah ia menjauhkan itu
semua dari kaum lemah dan menenggelamkan mereka ke dalam lautan nestapa dan
sengsara.
Adapun orang yang telah
dijauhkan dari "bakat-bakat" seperti itu tidak dibenarkan mengajukan
protes sedikit pun atas ketidak adilan tersebut, sebab tindakannya itu berarti
protes terhadap "nasib serta bagian yang diperuntukkan baginya", dan
terhadap "takdir Ilahi". Oleh sebab itu, keadaan ini harus
dihadapinya dengan sabar, rela dan bersyukur, bukannya dengan protes.
Jadi, si zalim dibebaskan dari
pertanggung jawaban atas segala perbuatannya dengan dalih qadha dan qadar,
juga dengan anggapan bahwa ia yakni si zalim tersebut, adalah "tangan
Allah ", sedangkan tangan Allah tidak boleh dikecam atas segala yang
dilakukan-Nya.
Dengan dalih seperti ini pula,
orang yang teraniaya harus menanggung segala bentuk kezaliman, sebab ia
beranggapan bahwa segala sesuatu yang menimpanya, pada hakikatnya, adalah dari
Allah secara langsung. Dengan begitu ia berputus asa dari hasil setiap
perlawanan. Mungkinkah melawan qadha dan qadar? Atau, mungkinkah
melepaskan diri dari cengkraman gaib yang amat kuat itu? Tambahan lagi, sikap
seperti itu bertentangan dengan akhlak Muslim, sebab berlawanan dengan sifat
rela (ridhd) dan pasrah.
Selain itu, orang yang
meyakini paham kaum Jabariyah ini tidak melihat adanya keterikatan sebab-akibat
di antara segala sesuatu, terutama antara manusia dengan perbuatannya serta
kepribadiannya secara spiritual dan moral di satu pihak, dan dengan masa
depannya yang bahagia atau sengsara di lain pihak. Karena itu pula, ia sama
sekali tidak akan terfikir ke arah pengukuhan kepribadiannya, perbaikan
perilaku moralnya atau pelurusan amal perbuatannya. Bahkan, sebaliknya, kita
melihatnya mengalihkan semua itu kepada takdir seraya menunggu nasib yang telah
ditentukan dengan cara penyerahan diri yang amat pahit.
Keuntungan-keuntungan
Politis
Sejarah menunjukkan dengan pasti
kepada kita, bahwa Bani Umayyah telah mengalihkan persoalan qadha dan qadar
menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya
dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan
manusia, dengan dalih bahwa itu merupakan kepercayaan yang berlawanan dengan
akidah-akidah Islam. Sehingga di suatu saat tersiar secara luas pameo yang
menyatakan bahwa "jabr dan tasybih adalah dua pikiran yang
berasal dari Bani Umayyah, sedangkan 'adl dan tauhid adalah dua pikiran
yang berasal dari kaum Alawiyin" (pengikut Ali bin Abi Thalib).
Orang yang paling dahulu
melontarkan masalah ikhtiar manusia ke tengah-tengah masyarakat untuk dibahas,
seraya mempertahankan akidah-akidah tentang kebebasan ini, di masa kekuasaan
Bani Umayyah, ialah seorang dari Irak bemama Ma'bad al-Juhani dan seorang lagi
dari Syam bemama Ghilan ad-Dimasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat-sifat
istiqamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam
pemberontakan bersama Ibnul Asy'ats dan kemudian dibunuh oleh al-Hajjaj
(seorang pejabat Bani Umayyah); sedangkan Ghilan, setelah pahamnya itu sampai
ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong
kedua tangan dan kaki kemudian disalib.
Syibli Nu'man
[2] menyebutkan bahwa kendati
situasi dan kondisi masa itu memang mendorong ke arah timbulnya berbagai
pertentangan dalam soal-soal akidah, namun semuanya itu bermula dari sesuatu
yang bersifat politis dan berdasarkan kepentingan-kepentingan pemerintah dalam
negeri. Sebab, sehubungan dengan sifat pemerintahan Bani Umayyah yang
menjalankan kekuasaannya dengan "besi dan api", wajarlah jika api
revolusi bergejolak dalam dada rakyat. Akan tetapi, secepat keluarnya keluhan
tentang keadaan, secepat itu pula para penguasa mengalihkannya kepada takdir,
dan bahwa yang terjadi itu telah ditakdirkan dan diridhai oleh Allah SWT; dan
karena itu tak ada yang dapat dibenarkan kecuali ucapan: "Kami beriman
kepada takdir, baiknya maupun buruknya." Ma'bad al-Juhani, yang dikenal
sebagai seorang tabi'i yang tulus, pernah bertanya kepada gurunya, Hasan
al-Bashri: "Sejauh mana kebenaran ucapan kaum Umawiyyin (Bani Umayyah)
mengenai persoalan qadha dan qadar?" Hasan al-Bashri menjawab: "Mereka itu adalah
para pendusta dan musuh-musuh Allah SWT."
Adapun kaum Abbasiyyin (Bani Abbas),
kecuali beberapa khalifah seperti al-Makmun dan al-Mu'tashim yang membela kaum
Mu'tazilah yang mempercayai adanya kebebasan manusia, menentang politik
pemerintahan kaum Bani Umayyah. Namun, sejak masa berkuasanya al-Mutawakkil dan
seterusnya, mereka telah berbalik seratus delapan puluh derajat dan menjadi
pembela paham kaum Jabariyah. Sejak saat itu, mazhab Asy'ariyah merupakan
mazhab yang berlaku secara umum di dunia Islam.
Tersebarnya mazhab Asy'ariah dan
kekuasaannya atas dunia Islam telah menimbulkan pula dampak yang luas. Sehingga
kelompok-kelompok lainnya, seperti Syi'ah misalnya, yang sebelum itu sama sekali
menolak aliran Asy'ariyah, tidak sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari
dampak tersebut. Itulah sebabnya kita dapat melihat kendati paham Syi'ah
bertentangan dengan Asy'ariyah, meski tidak sepenuhnya pula bersesuaian dengan
Mu'tazilah bahwa paham Jabariyah ini telah menyelusup ke dalam kesusasteraan
kaum Syi'ah, baik yang berbahasa Arab ataupun Parsi. Berbagai hasil karya
sastera mereka lebih banyak berbicara mengenai keterpaksaan manusia di hadapan
takdir ketimbang tentang kebebasan manusia. Padahal ucapan-ucapan para pemimpin
kaum Syi'ah, para Imam ahlul bait, menandaskan bahwa qadha dan qadar
yang menyeluruh sama sekali tidak bertentangan dengan kemerdekaan manusia.
Rahasia yang telah menjadikan kata-kata qadha
dan qadar sebagai sesuatu yang menakutkan ialah beralihnya arti kata
tersebut sehingga menjadi padanan kata jabr (determinisme) dan ketiadaan
kebebasan, serta kekuasaan tidak logis, yang berasal dari suatu kekuatan
tersembunyi, atas diri manusia dan segala perbuatannya. Hal itu disebabkan
tersebarnya mazhab Asy'ariyah di seluruh dunia Islam serta pengaruhnya yang
amat kuat atas kebudayaan Islam secara umum.
Kritik Barat Kristen Terhadap Islam
Penyimpangan yang terjadi dalam masalah ini
telah memberikan argumentasi kepada kaum Kristen di Barat untuk menyatakan
bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah sebab utama
kemunduran kaum Muslimin, dan berkenaan dengan itu mereka juga menyindir Islam
sebagai agama yang percaya kepada paham jabr (determinisme) dan mencabut
segala bentuk kebebasan dari diri manusia.
Almarhum Sayyid Jamaluddin al-Asadabadi
(al-Afghani) telah memberikan perhatian kepada kritik ini ketika ia berada di
Eropa dan kemudian telah menyanggahnya dalam tulisan-tulisannya.
Dalam salah satu tulisannya, ia
menjelaskan: "Apabila ruh (jiwa) yang menyimpang dan watak yang buruk
telah menyelusup ke dalam diri suatu masyarakat, maka setiap akidah benar yang
diberikan kepada masyarakat ini akan tercelup dengan wama ruh menyimpang yang
mereka miliki, sehingga menambah kesengsaraan dan kesesatan; dan selanjutnya
akidah itu berubah menjadi daya penarik ke arah perbuatan-perbuatan
buruk." Kemudian ia melanjutkan dengan kalimat yang berkesimpulan bahwa
akidah tentang qadha dan qadar merupakan salah satu di antara
beberapa akidah yang benar seperti itu, namun telah menimbulkan keraguan kaum
yang tidak mengerti dan bahkan menambah ketidak mengertian mereka. Orang-orang
Barat yang kurang cermat dan tidak cukup mengerti telah membayangkan secara
keliru bahwa apabila akidah tentang qadha dan qadar telah menyelusup
ke dalam diri suatu umat, maka mereka akan kehilangan himmah (semangat
dan gairah), kekuatan, keberanian dan sifat-sifat baik lainnya; dan bahwa semua
sifat buruk kaum Muslimin adalah akibat dari akidah tentang qadha dan qadar
itu. Selanjutnya, kaum Muslimin sekarang adalah masyarakat yang miskin, jauh
lebih lemah keadaannya dalam segi militer dan politik dari orang-orang Barat;
mereka diliputi keburukan akhlak, dusta, kelicikan, kebencian, permusuhan,
perpecahan, kebodohan tentang keadaan dunia, ketidak-berpengalaman tentang
kebaikan dan kejahatan serta perasaan cukup dengan hidup yang pas-pasan. Mereka
tidak memiliki sesuatu yang mendorong ke arah kemajuan dan perlawanan terhadap
musuh; dan oleh sebab itu pasukan-pasukan asing yang bengis dan beringas
menyerbu mereka dari segala arah, sedangkan orang-orang lemah dan bodoh justru
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala keadaan yang menimpa mereka,
sambil bersiap-siap untuk menerima segala kehinaan, menyembunyikan diri di
setiap sudut rumah dan menyerahkan semua simpanan harta benda serta kemerdekaan
mereka kepada musuh yang datang.
Almarhum Sayyid Jamaluddin melihat bahwa
orang-orang Barat, yang menisbahkan segala macam keburukan tersebut kepada kaum
Muslimin, beranggapan bahwa semua kejelekan dan kejahatan adalah akibat dari
kepercayaan tentang qadha dan qadar seraya menandaskan bahwa jika
kaum Muslimin masih tetap berpegang teguh pada akidah ini, maka eksistensi
mereka akan hilang lenyap dan menuju ke arah kemusnahan. Berkenaan dengan
pendapat Barat seperti ini, Sayyid Jamaluddin menegaskan bahwa mereka
(orang-orang Barat) tidak dapat membedakan antara akidah qadha dan qadar
dengan mazhab Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia majbur (terpaksa)
secara mutlak dalam semua perbuatan dan tindakannya.[3]
Kompleks Intelektual
Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan
ialah bahwa pembahasan tentang qadha dan qadar serta jabr
dan ikhtiar ini tidak hanya berdasarkan alasan sosial semata-mata, sebab
sebelum segala yang lain, masalah ini telah merupakan suatu kemusykilan ilmiah
dan filosofis yang seringkali terbersit dalam benak seorang pemikir dan
mendorongnya agar mencari pemecahannya.
Materialisme dan Takdir
Selain dari itu hendaknya jangan
dibayangkan bahwa masalah ini merupakan problem rumit yang hanya dihadapi oleh
para ahli teologi, sebab para penganut materialisme pun dihadapkan pada
problein ini meski dengan sedikit perbedaan. Yaitu, sesuai dengan sistem kausal
atau hukum sebab-akibat yang telah diterima, maka setiap fenomena dan peristiwa
yang terjadi adalah akibat dari suatu sebab atau berbagai sebab. Di pihak lain,
adanya akibat dengan memperkirakan (menghipotesiskan) adanya penyebabnya merupakan
sesuatu yang sepenuhnya bersifat dharuri (tidak boleh tidak);
sebagaimana ketiadaan penyebab memustahilkan adanya akibat.
Karena para penganut materialisme menerima
juga teori kausal atau prinsip sebab-akibat umum dan dharuri seperti
telah disebutkan sebelum ini dan menjadikannya salah satu pokok utama filsafat
mereka, maka mereka pun dihadapkan kepada pertanyaan sekitar keterikatan
perbuatan-perbuatan manusia pada hukum ini serta kemustahilan pengecualian
sesuatu daripadanya. Dengan kata lain, semua perbuatan inanusia tercakup dan
terliputi dalam hukum-hukum yang diterima tanpa ragu, secara pasti dan
deterministis. Kendati demikian, masih adakah kebebasan dan ikhtiar?
Oleh sebab itu, kita mendapati masalah jabr
dan ikhtiar ini diletakkan di hadapan semua aliran filsafat, lama maupun
baru, yang bersifat teologis maupun materialistis.
Telah kami kemukakan tentang adanya
perbedaan antara problem ini dalam pandangan kaum teologis dan pandangan kaum
materialis, namun perbedaan ini tidak berpengaruh dalam esensi permasalahannya,
bahkan kepercayaan kepada takdir Ilahi memiliki keistimewaan-keistimewaan dan
kekhasan-kekhasan yang tidak dimiliki oleh kepercayaan kepada takdir dan
determinisme alami.
Tanzih dan Tauhid
Kemusykilan ini muncul di kalangan para ahli
teologi dan ahli 'ilmul-kalam ketika mereka mengamati hukum sebab-akibat
serta bermuaranya semua kejadian dan kemungkinan kepada Zat (Allah) yang Wajibul
Wujud, dan mustahilnya terwujud sesuatu kejadian tanpa bersandar kepada
iradat Allah SWT. Dengan kata lain, mereka mengarah kepada ketauhidan segala
perbuatan dan kemustahilan adanya sekutu bagi Allah dalam pemilikan wujud
semesta ini. Ditinjau dari sisi lain, mereka pun menunjukkan perhatian ke arah
sesuatu yang oleh awam pun dapat dicerap dan diketahui, yaitu bahwa segala
kejahatan, kekejian dan dosa, tidak mungkin, atau tidak patut dinisbahkan
kepada Allah SWT. Karena itu, mereka menjadi bingung dan terombang-ambing
antara tanzih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tak layak
baginya-Nya) dan tauhid. Sebagian dari mereka berpikir, dalam lingkup tanzih,
bahwa iradat Allah dan kehendak-Nya tidak dapat dikaitkan dengan perbuatan dan
tindakan para hamba yang kadang-kadang bersifat jahat dan keji, sedangkan
sebagian yang lain berfikir dalam lingkup tauhid, dan dalam pengertian
"tak ada sesuatu yang memberikan pengaruh atas wujud kecuali Allah",
bahwa segala sesuatu pasti bersandar kepada iradat Allah SWT.
Diriwayatkan bahwa Ghilan ad-Dimisyqi, yang
berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar (kebebasan memilih), berkata pada
Rabi'ah ar-Ra'i, ilmuwan yang beraliran Jabariyah (determinisme): "Andakah
yang menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?" Rabi'ah
segera menjawab: "Andakah yang menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara
paksa?"
Suatu hari, Abu Ishaq al-Farayini,
pendukung aliran takdir, duduk dalam majlis Shahib bin Abbad, ketika datang
al-Qadhi Abdul-Jabbar, seorang tokoh Mu'tazilah yang mengingkari pengaruh
takdir umum, berlawanan dengan pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu
Ishaq, segera ia berkata: "Mahasuci Allah yang terjauhkan dari perbuatan
keji!" (ucapannya ini ditujukan sebagai sindiran kepada Abu Ishaq yang
menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan
berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang
dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas:
"Mahasuci Dia yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali
yang dikehendaki-Nya!" (Jawaban ini menyindir al-Qadhi Abdul Jabbar bahwa
seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini
dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak
dikehendaki oleh Allah SWT, yakni perbuatan keji dan sebagainya).
Telah diuraikan sebelum ini, bahwa masalah ini
telah menimbulkan kemusykilan ilmiah sebelum dibangkitkan dan dicampuri oleh
faktor-faktor politis dan sosial.
Bagi sebagian orang, tidaklah dapat
diterima oleh akal bahwa segala sesuatu, hatta perbuatan kejahatan, dinisbahkan
kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, mereka menjauhkan dan menyucikan Allah dari
kejahatan-kejahatan seperti itu, sementara orang-orang lain yang lebih
menekankan soal ketauhidan memandang alam ini seluruhnya tegak oleh sebab Zat
Ilahi, dan bahwa seluruh maujud memperoleh kemaujudannya dari sisi-Nya SWT.
Mereka ini menolak adanya suatu maujud yang mandiri dalam perbuatannya,
sehingga seandainya Allah menghendaki sesuatu, sedangkan si maujud menghendaki
sesuatu lainnya yang berlawanan dengan kehendak Allah, maka yang terjadi ialah
yang dikehendaki oleh si makhluk, bertentangan dengan yang dikehendaki oleh
Allah SWT. Dari sinilah timbul pertentangan dan perbedaan pendapat itu.
Akan tetapi, dapatlah disimpulkan bahwa
masing-masing kelompok berusaha menguatkan dan memenangkan pendapatnya dengan
cara membuat keraguan terhadap akidah kelompok lainnya, tanpa memperhatikan
kemusykilan-kemusykilan yang berhubungan dengan akidahnya sendiri. Hal ini
dapat diketahui secara jelas dengan menelaah buku-buku mengenai 'ilmul-kalam,
seperti dalam dialog antara Ghilan dan Rabi'ah dan antara al-Qadhi Abdul Jabbar
dan Abu Ishaq yang telah kita baca sebelum ini, sebagai dua contoh argumentasi
dari jenis ini.
Pada hakikatnya, kedua jenis akidah, baik
yang menekankan adanya takdir ataupun ikhtiar (kebebasan memilih) yang
diajarkan seperti ini, pasti tidak terlepas dari kemusykilan-kemusykilan yang
tidak dapat dipertahankan.
Seandainya kedua kelompok ini menyadari
bahwa kedua pendapat mereka masing-masing mencakup sebagian saja dari
kebenaran, niscaya hilanglah pertengkaran antara keduanya; dan akan diketahui
bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar serta ketauhidan
perbuatan sama sekali tidak identik dengan jabr (determinisme) serta
tercabutnya kebebasan sepenuhnya dari manusia, sebagaimana kepercayaan kepada
ikhtiar dan kebebasan manusia tidak berarti penafian (pengingkaran) terhadap qadha
dan qadar.[]
[1] Untuk mengetahuinya silakan
menelaahnya dalam kitab Tafsir karangan ar-Razie dan Zamakhsyari (al-Kassyaf).
[2] Tarikh 'Ilmul-Kalam (Sejarah Ilmul-Kalam), jilid
14, hal. 1.
[3] Cuplikan dari catatan harian Sayyid Shadr Wasiqi sekitar
Sayyid Jamaluddin dengan mengutip sebuah tulisannya tentang qadha dan qadar,
Maktabah Teheran No. 4535.
0 komentar:
Posting Komentar