HIDUP INI SANDIWARA, BUKAN BELAKA
Dari kecil kita mendengar hidup ini
sandiwara tetapi karena – mungkin – ditambah embel-embel “belaka” akhirnya
konotasi yang melekat terkesan hidup ini main-main, apalagi terkadang masih
ditambah di depannya kata “hanyalah”. Lengkaplah kesan main-main itu. Padahal
sandiwara adalah exhibisi permainan (the game) yang berbeda dengan main-main.
Permainan memiliki konsekuensi penilaian kalah dan menang. Konsekuensi itu juga
melahirkan dampak psikologis bagi pemain dan bentuk penerimaan di tingkat
penonton. Kalau permainan dapat dimenangkan
maka akan membuat pemain (baca: kita) merasa puas (satisfied) dan
membuat penonton memberi reward.
Sebaliknya jika kalah maka pemain merasa kecewa (dissapointed) dan penonton
tidak punya alasan riil untuk memberi reward. Tidak hanya itu saja, bahkan
kekalahan itu sering menghabiskan waktu, energi, dan perhatian kita untuk
membuat “pembelaan-diri” dengan segala cara agar penonton tidak mengecam
kekalahan.
Bagian paling mendasar agar
kualitas permainan (sandiwara) membuat
kita satisfied adalah memahami naskah sebelum memahami peta geografi panggung
dan demografi penonton. Seorang pemain yang tidak memahami naskah sandiwara
akan membuat space panggung lebih besar dari space pikirannya. Kalau dipaksakan
main maka akan membuat banyak peristiwa panggung yang tidak terpikirkan
(missing-link) atau mudah terkena penyakit demam panggung. Kalau hal ini
terjadi maka bentuk pembelaan-diri apapun di hadapan penonton tidak bermanfaat
untuk menangkis peristiwa yang tidak diinginkan terjadi.
Kiasan diatas mewakili gambaran yang terjadi di seluruh wilayah hidup
kita. Seorang pemimpin perusahaan yang tidak memahami naskah akan membuat dirinya mudah kecolongan/kebobolan yang tidak
jarang justru berakhir dengan kebangkrutan. Seorang sopir yang space fisik
mobil lebih besar dari space pikirannya akan membuat ia tidak tahu ke mana
mobil harus diarahkan dan kalau tetap menjalankannya juga maka akan gampang
terjadi kecelakaan. Demikian juga dengan diri kita. Bedanya, kita adalah pemain
sekaligus penyusun naskah. Karena kitalah yang
(mestinya) tahu peta panggung internal dan eksternal sekaligus
lingkungan khalayak penonton.
Naskah
Pendekatan membuat naskah skenario dalam konteks organisasi telah dikenal
bertahun-tahun dengan sebutan ‘strategic thinking’ dan telah dibuktikan dapat
menghasilkan banyak manfaat bagi organisasi yang menggunakannya, terutama
sekali pemahaman peta (naskah) dari mana memulai (konteks sejarah), di mana
sekarang dan kemana harus melangkah. Model berpikir strategis ini bertumpu pada
lima kriteria, yaitu: organization, observation, driving force, view, dan ideal
position (dalam: Strategic management thinking:
Women business center, Dallas TX, 1997).
Kalau kriteria itu kita olah menjadi model kemasan yang mungkin untuk
diterapkan dalam skala mikro (organisasi personal) yaitu diri kita, maka dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Organisasi
Naskah hidup harus disusun berdasarkan pertimbangan, pengetahuan dan
pemahaman tentang siapa orang-orang yang
akan terlibat mendukung agar menjadi tontonan sandiwara yang memuaskan diri
kita dan menarik buat penonton. Kalau tidak terjadi nota kesepahaman
psikologis antara kita dengan sejumlah
orang yang kita ajak bermitra, akibatnya permainan sandiwara mengecewakan semua
pihak.
Dukungan bisa kita ciptakan dari
real networking (mitra/rekanan), kelompok master mind (sahabat/teman),
relationship (keluarga). Bentuk dukungan yang kita butuhkan bisa berupa
kontribusi riil (material) dan
kontribusi mental (mental support). Idealnya, kita membutuhkan kedua hal itu.
Kalau kita membutuhkan uang tetapi mendatangi sosok yang punya keterbatasan
uang juga, maka judul akhirnya problem plus problem. Dalam rumah tangga sangat perlu dilakukan
kebiasaan saling mendukung dan ketergantungan antgara satu dengan yang lain.
Seorang suami mungkin memerlukan kontribusi mental dari istri dalam menjalankan
tugas sebagai kepala keluarga, anak membutuhkan kontribusi dari orangtua, dsb.
Dukungan tidak dapat diperoleh dengan gratis tetapi – meminjam istilah Covey –
perlu dibentuk kebiasaan kesalingbergantungan; saling mendukung.
2.
Observasi
Naskah hidup seyogyanya disusun berdasarkan pemetaan mental dan
observasi lapangan untuk mengurangi gap antara hal apa yang masih konseptual
dan hal apa yang merupakan faktual. Agar hasil observasi lebih akurat dan
representative, maka para ahli di bidang model berpikir strategis menawarkan
kiat “Airplane thinking” yaitu sebuah kiat di mana kita memposisikan diri
berada di atas pesawat mental.
Dengan posisi di atas akan membuat penglihatan kita lebih luas dan
menjangkau seluruh wilayah yang ada di bumi (panggung realitas). Pesan bijak
bilang, orang yang tidak dapat memahami persoalan dari wilayah strategis (baca:
spektrum yang lebih luas) akan membuat dirinya hanya berputar-putar di
sekeliling problem dan sulit menyusun prioritas (fokus pengembangan).
Tangga pesawat mental akan memudahkan kita merasakan adanya
keterkaitan antar objek, membuat kesimpulan menyeluruh, dan mudah membedakan
sekian alternative yang ada. Sebaliknya dalam posisi mental di bawah akan
membuat penglihatan kita terbatas pada ruangan yang sempit sehingga mudah
mengalami stuck dan tidak tahu alternative. Bisa jadi, naskah yang disusun
dengan keterbatasan observasi tidak dapat menjabarkan konteks pembahasan yang lebih luas. Kalau meminjam istilah yang
dipakai anak ABG (anak baru gede), orang yang "kuper" (kurang
pergaulan) membuat dunia yang sangat
luas ini menjadi sekecil daun kelor.
3.
Sudut Pandang
Naskah hidup sebaiknya disusun tidak selamanya berdasarkan format
pandangan lama tetapi harus mendapat sentuhan “different way of thinking”.
Dalam teori berpikir strategis, ada empat sudut pandang yang perlu
dipertimbangan untuk membentuk skenario yaitu sudut pandang atas lingkungan,
marketplace, proyek, dan ukuran proyek. Sudut pandang itu dibutuhkan dalam
rangka mengidentifikasi hasil yang diinginkan (outcome), identifikasi elemen
kritis, dan mengukur tingkat kesesuaian antara ide dan tindakan.
Untuk memperjelas, sudut pandang ini dapat kita kaitkan dengan
ungkapan lama bahwa setiap manusia memperoleh “penghidupan” dengan cara
menjalani bisnis penjualan (business of selling). Siapa pun dan apapun kita
tidak akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan - yang kebetulan masih di tangan
orang lain - kecuali ada yang kita jual kepada mereka. Agar barang kita laku,
maka tidak semestinya kita menjual apapun kepada siapapun dan kapanpun dengan
cara apapaun. Profesi yang dipilih para nabi sarat dengan sudut pandang yang
matang atas keempat faktor di atas, di mana mereka umumnya memilih profesi
bidang pertanian, kelautan, atau industri
tekstil . Tak terkecuali Inul kalau tidak boyong ke Jakarta demi
“menjual” goyang ngebornya kemungkinan besar tidak seheboh seperti sekarang
ini.
4.
Sumber Kekuatan
Dalam teori berpikir strategis, sumber kekuatan dapat dipetakan
menjadi sumber kekuatan kualitatif (cth: visi, keyakinan berprinsip, tujuan
hidup), sumber kekuatan produktif (cth: misi dan fungsi), dan sumber kekuatan
kuantitatif (cth: pengalaman, pencapaian prestasi, dll). Peta sumber kekuatan
teoritis itu dapat kita jadikan acuan bahwa naskah hidup yang kita rumuskan
sebaiknya jangan membabi-buta tetapi sarat dengan perhitungan matang atas
faktor kekuatan pemicu, pendorong, dan penopang.
Naskah hidup harus mampu menjelaskan:
§
Visi (tujuan jangka panjang antara 8
sampai 25 tahun mendatang)
§
Definisi Tujuan (manajemen keinginan)
§
Prinsip hidup (keyakinan totalitas dan
tidak menerima kompromi)
Rumusan Implementasi sesuai dengan kapabilitas saat ini dan berdasarkan
kemampuan riil menurut apa yang telah kita alami dan telah kita capai. Kasarnya,
jangan sampai asal-asalan terjun payung nekat tanpa menggunakan parasut
cadangan, karena hidup ini bukan main-main.
5.
Destinasi Dinamis
Posisi ideal dalam berpikir
strategis menggambarkan keadaan hidup tertentu yang akan kita nikmati apabila
seluruh kandungan naskah ini dapat diterjemahkan sesuai rencana mencakup respon
penonton, keunggulan yang bakal kita miliki, dan peluang yang kita raih. Pendek
kata, posisi ideal adalah wilayah untuk mengekspresikan energi visualisasi
kreatif di mana kita akan terinspirasi untuk meraihnya.
Tanpa sentuhan ‘khayalan’ mungkin kandungan naskah menjadi hambar dan
penonton pun tidak tertarik. Kita bisa menarik pelajaran dani kesuksesan film
Titanic. Awalnya cerita itu adalah besi besar bernama kapal yang tenggelam di
dasar laut tetapi oleh penulis naskah yang kreatif disulap menjadi sebuah
tragedi yang diiringi dengan petualangan cinta antara dua kasta yang menarik
sehingga membuat penonton histeris dan ketagihan.
Dalam kaitannya dengan diri kita, naskah hidup perlu disusun tidak
semata-mata berdasarkan “apa adanya” tetapi perlu melibatkan khayalan ‘‘apa
yang semestinya” terjadi atau harus terinspirasi dengan cita-cita murni
sebagaimana saat masih bayi. Seperti
kata orang, tidak selamanya orang gagal itu karena cita-cita hidup yang lebih
besar dari kemampuan tetapi seringkali cita-cita yang (dibikin) berstandar
rendah dan tidak tercapai seratus persen”. Jadi, posisi ideal bukanlah destinasi
akhir tetapi titik proses di mana akhir adalah awal untuk memulai.
Karakter Permainan
§
Penguasaan isi naskah yang dibuat secara
orisinil dan didasarkan pada pendekatan model berpikir strategis akan
menghasilkan kualitas karakter permainan sebagai berikut:
§
Menciptakan dialog (kerja sama) yang
hidup, dinamis dan komunikatif yang didasarkan atas pemahaman peranan dirinya
dan orang lain (supportive people). Dialog yang hidup itu merupakan cermin dari
negosiasi dalam berbagai transaksi kepentingan hidup.
§
Memiliki penguasaan panggung yang lebih
akurat sehingga ketika mendadak terjadi kegagapan, orang yang telah menguasai
naskah gampang menyusun improvisasi panggung.
§
Memiliki penampilan yang menarik karena
memiliki otoritas mental untuk berkreasi secara kreatif dan berinovasi,
sehingga tidak membuat bosan atau monoton.
§
Memiliki pemahaman bagaimana “menempatkan
diri” di atas panggung yang tidak berposisi kontradiktif dengan pemain lain
atau apalagi membelakangi penonton. Meminjam istilah Musashi, pemahaman
demikian dinamakan “ordered flexibility” yang menggambarkan watak air berbentuk
tanpa egoisme bentuk.
§
Memiliki semangat permainan yang tinggi
karena terdorong oleh cita-citanya. Semangat ini pada gilirannya akan
menciptakan daya tarik terhadap penonton sehingga mereka menjadi bersemangat.
Belajar dari karakter para
pemain yang sukses, umumnya mereka
memiliki karakteristik yang sama yaitu: penguasaan naskah, penguasaan panggung
dan penguasaan emosi penonton. Bagi penonton pemain itulah “the world”. Kiasan
ini bisa membuat kesimpulan serupa kalau kita belajar dari kehidupan orang
sukses bukan saja dari effect tindakannya tetapi dari isi pikiran dan karakter
bertindak. Ciri khas yang umumnya sama adalah mereka menguasa dirinya (personal
mastery), menguasai bidangnya (life focus mastery) dan menguasai reaksi
lingkungan. Contohnya: menurut cerita para orang tua, kalau Pak Karno lagi
berpidato, para petani di Jawa Timur rela membawa radionya ke sawah karena
tidak ingin kehilangan apa yang akan disampaikan Soekarno.
Memang tidak semua
orang punya panggung dan jumlah penonton sebesar dan sebanyak Soekarno, tetapi
prinsipnya semua orang punya tugas mendesain naskah hidupnya, punya tugas
menguasai pangung, dan punya tugas menguasai reaksi penonton yang umumnya hanya
berkisar kecaman dan pujaan. Kalau tidak dapat menguasai reaksi penonton, atau
dengan kata lain apabila anda mengukur sukses hanya sebatas pujaan dan kritik,
maka kegelisahan anda tidak akan pernah berakhir. Reaksi adalah effect dari
aksi menguasai naskah. Semoga menjadi bahan menyusun naskah hidup anda.
0 komentar:
Posting Komentar