KECANDUAN CINTA
Istilah kecanduan cinta mungkin bukan istilah yang umum terdengar.
Istilah yang sudah umum beredar seperti kecanduan minum, alkohol, narkoba,
rokok, kerja, dan lain sebagainya.
Meski pun “barang” nya cinta, bukan berarti aman-aman saja bagi
pecandunya dan tidak membawa dampak apapun juga. Justru, dampak dari kecanduan
cinta ini sama buruknya untuk kesehatan jiwa seseorang. Buktinya, sudah banyak
kasus bunuh diri atau pembunuhan yang terjadi akibat kecanduan cinta meski
korban maupun pelaku sama-sama tidak menyadarinya...Nah, artikel di bawah ini
akan mengulas sekelumit hal-hal yang berkaitan dengan kecanduan cinta.
Kecanduan Psikologis
Di dalam masyarakat sudah banyak sekali kesalahan dalam mempersepsi
atau mengartikan cinta sejati dengan cinta yang bersifat candu. Berbagai film,
sinetron, atau pun lagu-lagu turut andil dalam menyaru-kan kondisi kecanduan
cinta dengan cinta sejati. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam pengertian
yang keliru antara kecanduan cinta dengan cinta sejati. Contoh ekstrimnya, ada
orang yang bunuh diri karena ditinggal pergi kekasih – dan orang menilai bahwa
cerita ini mencerminkan kisah cinta sejati.
Tanda-tanda
Pada umumnya individu yang mengalami kecanduan cinta menunjukkan
tanda-tanda:
v
Adanya pikiran obsesif, misalnya
terus-menerus curiga akan kesetiaan pasangan, terus- menerus takut ditinggalkan
pasangan sehingga selalu ikut ke mana pun perginya sang kekasih/pasangan.
v
Selalu menuntut perhatian dari waktu ke
waktu, tanpa ada toleransi dan pengertian
v
Manipulatif, berbuat sesuatu agar
pasangan mengikuti kehendaknya/memenuhi kebutuhannya, misalnya: mengancam akan
memutuskan hubungan jika mementingkan hobi-nya
v
Selalu bergantung pada pasangan dalam
segala hal, apapun juga, mulai dari minta pendapat, mengambil keputusan sampai
dengan memilih warna pakaian
v
Menuntut waktu, perhatian, pengabdian dan
pelayanan total sang kekasih/pasangan. Jadi, pasangan tidak bisa menekuni
hobi-nya, jalan-jalan dengan teman-teman kelompoknya, atau bahkan memberikan
sebagian waktunya untuk orang tua/keluarga.
v
Menggunakan sex sebagai alat untuk
mengendalikan pasangan
v
Menganggap sex adalah cinta dan sarana
untuk mengekspresikan cinta
v
Tidak bisa memutuskan hubungan, meski
merasa amat tertekan karena “berharap” pada janji-janji surga pasangan
v
Kehilangan salah satu hal terpenting
dalam hidup, misalnya pekerjaan atau /keluarga inti demi mempertahankan
hubungan
Jadi, tidak ada istilah “puas” dalam setiap hubungan yang terjalin
antara orang yang kecanduan cinta dengan pasangannya; ibaratnya seperti mengisi
gelas bocor yang tidak pernah bisa penuh jika diisi, karena begitu airnya
dituang lantas langsung keluar lagi dan airnya tidak pernah luber. Demikian
juga orang kecanduan cinta, mereka tidak pernah mampu membagikan cinta secara
tulus pada orang lain karena selalu merasa kehausan cinta.
Oleh sebab itu, banyak di antara mereka yang sering berganti pasangan
karena merasa harapan mereka tidak dapat dipenuhi sang kekasih. Padahal, meski
puluhan kali mereka berganti pasangan, individu yang kecanduan cinta akan sulit
membangun hubungan yang stabil dan abadi.
Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak sadar, bahwa sumber masalah
justru ada pada diri sendiri – mereka lebih sering menyalahkan mantan-mantan
kekasihnya/pasangannya.
Penyebab
Sebenarnya, kecanduan cinta itu adalah kecanduan yang bersifat
psikologis karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis (seperti kasih
sayang, perhatian, kehangatan dan penerimaan seutuhnya) di masa kecil.
Menurut Erik Erikson - seorang pakar perkembangan psikososial, orang
yang pada masa batita-nya tidak mengalami hubungan kelekatan emosional yang
stabil, positif dan hangat dengan lingkungannya (baca: orang tua dan keluarga),
akan sulit mempercayai orang lain – bahkan sulit mempercayai dirinya sendiri.
Selain itu, trauma psikologis yang pernah dialami seperti penyiksaan emosional
dan fisik pada usia dini, atau menyaksikan sikap dan tindakan salah satu orang
tua yang agresif dan kasar terhadap pasangan, dapat menghambat proses kematangan identitas
kepribadian dan kestabilan emosinya. Pemandangan dan pengalaman tersebut kelak
berpotensi mempengaruhi pola interaksinya dengan orang lain.
Keterbatasan respon/perhatian dari lingkungan pada waktu itu,
dipersepsi olehnya sebagai suatu bentuk penolakan; dan penolakan itu (menurut
pemahaman seorang anak) disebabkan kekurangan dirinya. Nah, pada banyak orang,
masalah ini rupanya tidak terselesaikan dan akibatnya, sepanjang hidup ia
berjuang untuk mengendalikan lingkungan atau orang-orang terdekat supaya selalu
memperhatikannya. Orang demikian berusaha membuat dirinya diterima dan dimiliki
oleh orang lain – meski harus “mengorbankan” diri. Orang ini begitu cemas dan
takut jika kehilangan orang yang selama ini memilikinya; karena perasaan “dimiliki”
ini identik dengan harga dirinya –dan sebaliknya ia akan kehilangan harga diri
jika kehilangan pemilik.
Dampak
Akibat kecanduan cinta bisa dirasakan secara langsung oleh yang
bersangkutan, karena orang itu tidak dapat menikmati hubungan yang terjalin
karena pikiran dan perasaannya selalu diliputi ketakutan. Dan tidak jarang
ketakutan tersebut makin tidak rasional dan melahirkan tindakan yang tidak
rasional pula, misalnya tidak memperbolehkan pasangannya pergi kerja karena
takut direbut orang.
1.
Bagi Individu Bersangkutan
Akibat jangka menengah dan jangka panjang adalah individu yang
bersangkutan akan berada dalam kondisi emosi yang labil dan menjadi terlalu
sensitif. Individu tersebut mudah curiga
pada teman, sahabat, kegiatan, pekerjaan, bahkan keluarga pasangannya. Selain
itu ia menjadi mudah marah, cepat
tersinggung dan bagi sebagian orang bahkan ada yang bertindak agresif dan kasar
demi mengendalikan keinginan dan kehidupan pasangannya. Pasangannya tidak
diijinkan untuk punya agenda tersendiri; pokoknya harus mengikuti keinginannya
dan 100% memperhatikannya. Individu tersebut juga mudah merasa lemah, lelah dan
lemas. Pasalnya, seluruh energinya sudah dipergunakan untuk mengantisipasi
ketakutan yang tidak beralasan dan melakukan tindakan untuk menjaga
pertahanannya. Nah, kehidupan demikian membuat dirinya menjadi manusia tidak
produktif. Sehari-hari yang dipikirkan dan diusahkan hanyalah bagaimana supaya
“miliknya terjaga”.
2.
Bagi Pasangan
Banyak orang yang tidak sadar kalau dirinya terlibat dalam pola
hubungan yang addictive sampai akhirnya ia merasa stress, tertekan namun tidak
berani/takut/tidak berdaya untuk memutuskan hubungan yang sudah berjalan
beberapa waktu. Bagi sebagian orang yang cukup sadar dan mempunyai kekuatan
pribadi, ia akan berani mengambil sikap tegas dalam menentukan arahnya sendiri.
Namun, banyak pula orang yang “memilih” untuk tetap dalam lingkaran
demand-supply tersebut karena ternyata dirinya sendiri juga mengalami masalah
dan kebutuhan yang sama. Jika demikian halnya, maka hubungan yang ada bukannya
mengembangkan dan mendewasakan kedua belah pihak, namun malah semakin
memperkuat ketergantungan cinta keduanya. Situasi ini lah yang sering
dikaburkan dengan hubungan yang romantis dan cinta buta.
Penanggulangan
Menurut para ahli
psikologi dan kesehatan mental, salah satu syarat utama untuk dapat menjalin
hubungan yang sehat dan sekaligus menjalani kehidupan yang produktif adalah
mempunyai kesehatan mental yang sehat dan identitas diri yang solid. Kondisi
positif demikian akan menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat sehingga orang
tersebut tidak membutuhkan dukungan dan pengakuan orang lain untuk memperkuat
sense of self-nya. Jadi, untuk mengembalikan seseorang pada bentuk hubungan
yang sehat, langkah awal yang diperlukan adalah memperkuat pribadinya terlebih
dahulu. Dengan meningkatkan sumber kekuatan psikologis secara internal, akan
mengurangi ketergantungannya pada kekuatan eksternal. Orang itu harus merasa
aman dan percaya dengan dirinya sendiri untuk bisa merasa aman dalam setiap
jalinan hubungan dengan orang lain. Ada kalanya, orang-orang demikian
membutuhkan bantuan para profesional untuk membimbing dan mengarahkan mereka
membangun pribadi yang positif.
0 komentar:
Posting Komentar