Lantas Aku Berpikir...
Jogja, (Weekly Review). Cogito, ergo sum.
Aku berpikir, maka aku ada. Demikian Rene Descartes, seorang filsuf kebangsaan
Perancis yang hidup pada abad ke-17 dan juga seorang matematikawan handal
(salah satu hasil pemikirannya adalah Sistem Koordinat Cartesian, diambil dari
nama lain Descartes yaitu Cartesius).
Rupanya Descartes ingin mengajak kita
berpikir dengan ujarannya yang cukup terkenal tersebut, bahwa eksistensi kita
adalah pada kemampuan berpikir kita dalam 'mengadakan' atau menyadari
keberadaan diri kita sendiri.
Rumit? Tidak juga. Kontemplasi dan
introspeksi, adalah jalan menuju ke eksistensi diri ala Descartes. Tetapi
celakanya, di masa sekarang ini ternyata kita sulit untuk bisa percaya dengan
pikiran kita sendiri, termasuk urusan yang kelihatannya paling sederhana, yaitu
eksistensi atas suatu hal.
Bahkan yang jelas-jelas dijamin ada dan
eksis namun tanpa wujud pun seakan terpaksa diredifinisi ulang oleh pikiran
kita. Contohnya, tayangan-tayangan semacam 'dunia lain' di televisi kita. Untuk
menjadi 'ada' seolah-olah harus dengan wujudnya yang tertangkap oleh mata dan
kamera, sehingga tak cukup lagi dengan sekedar 'ada' dalam pikiran kita.
Kita pun terjebak untuk semakin manja,
seeing is believing, kata orang. Aku melihat, maka aku percaya. Termasuk aku
mendengar, membaca, mengecap, mencium, meraba dan seterusnya. Aku percaya,
tanpa aku (harus) berpikir!
S1mone
Ada sebuah film koleksi saya yang cukup menarik, yang berjudul
'S1mone'. Beberap aktor yang bermain di film keluaran 2002 tersebut cukup
kawakan, sebutlah semisal Al Pacino dan Winona Ryder. Al Pacino, berperan
sebagai produser film yang nyaris bangkrut, bernama Viktor Taransky. Keadaan
semakin buruk ketika dia dipecat dari sebuah studio film tempatnya bekerja. Belum
lagi ketika bintang film asuhannya hengkang dari dirinya.
Dalam keadaan yang sudah sedemikian
buruknya, Viktor kemudian mengutak-atik komputer. Hasilnya, lahirlah sebuah
bintang baru, perempuan yang jelita, bersuara merdu dan cerdas, bernama S1mone.
S1mone, yang lebih dari sekedar perempuan virtual hasil olahan citra komputer,
menjadi bintang dan idola baru dalam sekejap. Orang tak pernah tahu tentang
keberadaan sesungguhnya bintang idola mereka tersebut. Eksistensi S1mone adalah
nyata, karena orang melihatnya dia ada, di televisi.
Kontan saja nama Viktor sebagai produser
yang melahirkan bintang tersebut kembali bersinar. Dan itu harus ditebus dengan
segala daya-upayanya untuk menyembunyikan jati diri S1mone. Viktor menjadi
stres luar biasa. Kala itu Viktor masih merasa dirinya mampu mengontrol
keberadaan tokoh imajinatif rekaannya tersebut. Tetapi Eline, istrinya, mencoba
menyadarkan bahwa keadaan sudah berbalik dan Viktorlah yang kini dikendalikan,
oleh popularitas dan eksistensi S1mone.
"I made her!" ujar Viktor.
"No Viktor, she made You!" tegas Eline.
Vivian
Ada satu kisah yang cukup menarik, ketika pasca kerusuhan Mei 1998
berseliweran sebuah e-mail dari 'Vivian'. Vivian mengaku seorang gadis
keturunan Tionghoa yang menceritakan secara lengkap dan detil tentang kapan,
dimana dan bagaimana dirinya diperlakukan secara kurang manusiawi saat
kerusuhan berlangsung.
Salah satu majalah yang melakukan
penelusuran atas keberadaan Vivian tersebut adalah majalah DR (Detektif
Romantika, kini sudah tidak terbit). Dalam pelacakannya tersebut, bahkan hingga
ke sebuah pusat krisis dan rehabilitasi pasien trauma di Singapura, DR tidak
berhasil menemukan Vivian pengirim e-mail tersebut.
Saat itu tak ada yang bisa yakin benar,
bahwa Vivian memang ada. Tetapi 'eksistensi' Vivian sedemikian luar biasanya,
sehingga akhirnya menjadi sebuah agenda publik yang nyaris tak terbantahkan.
Beberapa media massa
nasional bahkan memberitakan kisah tersebut, mungkin tanpa sempat membuktikan
keberadaan gadis tersebut.
Hingga akhirnya informasi tentang Vivian
tersebut sampai ke dunia internasional dan dikabarkan menjadi salah salah satu
alasan bagi sebuah lembaga hak azasi manusia internasional untuk melakukan
kecaman yang cukup pedas kepada Indonesia.
Aku Berpikir Maka...
Ketika kita berbicara tentang
computer-mediated communication, alias komunikasi yang termediasikan oleh
teknologi komputer (dan Internet), maka batasan antara ada dan tiada menjadi
sangat tipis. Contohnya saja, jika kita berbicara tentang fasilitas Internet
Relay Chat (IRC) pada Internet.
Aku online, maka aku ada. Tetapi, 'aku'
yang mana? Karena di dalam sebuah chatroom, eksistensi seseorang terletak pada
nickname yang turut bergabung. Masalahnya, nickname boleh ada di dalam 'ruang
maya', tetapi orangnya bisa saja entah dimana.
Ataupun satu orang pun bisa memiliki
beberapa nickname sekaligus, dan bergabung di chatroom yang berbeda. Bahkan
satu orang tersebut bisa saja merepresentasikan lebih dari satu nickname dengan
jenis kelamin yang berbeda-beda. Toh lawan bicaranya tetap sulit untuk
menyadari hal tersebut.
Akhirnya kemudian timbulah masalah, ketika
eksistensi seseorang lebih dilihat dari representasi atas simbol-simbol
tertentu. Dan jika akhirnya kemampuan berpikir kita untuk mengidentifikasi
eksistensi seseorang menjadi tumpul, maka bagaimana mungkin kita akan dapat
mengidentifikasi eksistensi diri sendiri?
Aku online, maka aku ada. Aku berkirim
e-mail, membuat blog, chatting, maka aku ada. Lantas aku berpikir, 'aku' yang
mana?
Dia online, maka dia ada. Dia berkirim
e-mail, membuat blog, chatting, maka dia ada. Lantas aku berpikir, 'dia' tak
ada?
0 komentar:
Posting Komentar