Metode Hermeneutika untuk Al-Qur'an
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan)
memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan
bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas
abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi
Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh
dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr
Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur'an,
2000) Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an
dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh
karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an)
dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini
tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati
yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an
masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan
bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan
kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah
tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-
menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. (Rethinking
Islam, 1999) Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran,
pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang sangat luas dalam rentang waktu
panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam
metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya
yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat
universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan
dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena,
setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks
klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya,
selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem
penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan
menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan
komprehensif.
Tawaran Hermeneutik
Hermeneutika sebagai sebuah metode
interpretasi sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar
subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi
(ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif.
Maksudnya, pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi
Muhammad itu tidak hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami
secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan
konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya
dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat
di mana kita berada dan hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan
dari bahasa, karena problem hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu,
dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa,
juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks
tersebut. Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de
Saussure di atas –seorang ahli bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis
antara teks dan wacana. (K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 1995).
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman
terhadap Al-Qur’an jika memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga
faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan
dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga
jika memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa
mempertimbangkan dimensi yang lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas
dan miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode
yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap
pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas
penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa
sebuah teks akan berbunyi dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak
dialog oleh pembacanya. Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki
ruang kebebasan dan otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid
yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada
Al-Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir
terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed
Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika
sebagai metodetafsirnya,namun ia telah memberikan bobot besar pada
kontekstualitas. Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an
itu justru merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai
tujuan dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman,
memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara
menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat
per ayat, merupakan sebuah kemutlakan.
Mohammed Arkoun mungkin orang yang secara
tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk
kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan
memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu. Pertama Wahyu
sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tak diketahui oleh
manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu yang nampak
dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada
realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi
Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, Wahyu sebagaimana
tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di
dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Muslim
hingga hari ini.
Ketiga tingkatan pemahaman wahyu di atas
tentu saja memberikan implikasi pada penafsiran. Bagi Arkoun, dalam tafsir
klasik atau modern, ketiga kategori wahyu itu tidak dibedakan sehingga
menempatkan wahyu ketiga kategori di atas menjadi satu otoritas, yaitu skema
otoritas Tuhan. Arkoun melihat secara kritis otoritas dari masing-masing teks
Al-Qur’an itu. Sehingga masing-masing tidak dicampurkadukkan begitu saja.
Dengan demikian, ia telah membongkar
sesuatu di balik penyejarahan ketiga kategori otoritas tersebut. Hal ini
menjadi teks Al-Qur’an terbongkar dari selubung-selebung ideologis dan klaim
kebenaran penafsiran yang sudah tidak relevan lagi.
Signifikansi Hermeneutika Pembebasan
Analisis yang dilakukan oleh Arkoun dan
Rahman di atas memang harus diakui sebagai prestasi intelektual yang briliyan.
Analisis tersebut telah mampu membongkar yang selama ini tidak tersentuh
(unthoucable) oleh akal klasik maupun modern. Namun analisis Arkoun itu masih
menyisakan problem yang belum terjawab, yaitu apakah analisis itu hanya sebagai
kajian epistemologis yang tidak mempunyai implikasi praktis dan humanis?
Padahal, umat Islam sekarang sedang mengalami kemunduran besar yang tidak cukup
hanya bisa dipecahkan dengan teori minus aksi!
Al-Qur’an sesungguhnya mempunyai visi
transformatif dan liberatif untuk kemanusiaan. Ayat-ayat mengawali misi
penurunan Al-Qur’an dengan mengadakan revolusi teologis. Revolusi teologis ini
mengartikulasikan substansinya melalui jargon “Tauhid” yang menegasikan seluruh
sesembahan selain Allah. Tauhid ini juga menegaskan semangat egalitarianisme
sebagai simbol perlawanan terhadap perbudakan dan kejahatan kemanusiaan yang
terjadi di Makkah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah mengindikasikan semangat
revolusi sosiologis terhadap tatanan dan struktur sosial kehidupan masyarakat
dengan menjadikan keadilan dan kemakmuran sebagai doktrin sandaran.
Dari periodesasi ayat-ayat Al-Qur’an
beserta implikasi revolusinya, dapatlah dipahami bahwa semangat dan nilai
Al-Qur’an itu bergerak. Ia tidak hanya berhenti dan memperkaya horizon
pengalaman beragama individual, tetapi juga berlanjut implikasinya pada dimensi
sosial. Dengan kata lain, ia berdampak meningkatkan kualitas penghayatan
individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan, dengan merekontruksi sejarah
Kenabian dan mecermati ulang Al-Qur’an, Asghar Ali Engineer berkesimpulan bahwa
Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an mempunyai perhatian sentral pada keadilan
sosial untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas serta menciptakan masyarakat
egalitarian. Menurutnya, wahyu secara esensial bersifat religius, namun tetap
menaruh perhatian pada situasi yang serta memiliki kesadaran sejarah. (Islam
dan Pembebasan, 1993) Hal terbukti dari ayat-ayat pertama yang turun kepada
Nabi, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi sosial yang
terjadi di Mekkah. Fakta bahwa Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an lebih dari
sekedar agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial
dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh
penekanannyan pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an, shalat
tidak pernah disebut tanpa diiringi oleh zakat. Zakat bertujuan untuk
distribusi kekayaan bagi fakir miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar
hutang bagi para penghutang, dan membantu problem- problem agama lainnya.
Oleh karena itu, hermeneutika yang
merupakan metode penafsiran yang memadai pada saat sekarang, perlu memberikan
tujuan penafsiran yang tegas dan jelas. Tugas hermeneutika Al-Qur’an yang
mendesak pada saat sekarang adalah untuk pembebasan sosial kemanusiaan dari
berbagai ekspoitasi yang merugikan. Eksploitasi itu bisa berbentuk ekonomi,
politik, sosial, budaya, serta pengekangan keberagamaan.
Maka ke depan, umat
Islam Indonesia harus memelopori penafsiran Al-Qur'an yang berimplikasi pada
pembebasan sosial. Sudah waktunya para agamawan terjun untuk membebaskan
penindasan, membela hak-hak wanita, dan berdiri pada garda terdepan
menumbangkan segala ketidakadilan. Usaha yang dilakukan Farid Esack dalam
menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan, layak dipertimbangkan sebagai
pemandu gerakan dan wacana keilmuan. Wallahu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar